Dana Desa dan Gerakan Ekonomi Rakyat
Blogger Matoh - Amril Buamona, Pengamat Kebijakan Publik, Alumnus Development Studies, University of East Anglia, United Kingdom
DALAM prinsip Nawa Cita ketiga, membangun dari pinggiran merupakan suatu jalan pemerataan untuk mempersempit jurang disparitas antarwilayah, antarsektor, dan antarpelaku ekonomi.
Membangun dari pinggiran merupakan tindakan afirmatif untuk menggerakkan kegiatan ekonomi yang selama ini kurang mendapat prioritas, seperti ekonomi perdesaan yang berbasis pada ekonomi tradisional serta sektor pertanian dan usaha mikro kecil yang sering juga disebut dengan ekonomi rakyat.
Upaya itu dipercepat melalui kebijakan fiskal berupa penggelontoran dana desa sebagai salah satu sumber pemasukan bagi desa untuk membiayai pembangunan desa.
Lebih-lebih ada komitmen kuat dari Pemerintahan Jokowi-JK untuk terus meningkatkan besaran dana desa setiap tahunnya.
Karena itu, sangat wajar Menteri Desa Marwan Jafar meyakini dana desa akan menjadi sumber energi dan tenaga pendorong yang kuat bagi ekonomi rakyat untuk tumbuh cepat dan berkembang maju.
Pada 2016 ini, dana desa bertambah dua kali lipat daripada tahun sebelumnya.
Anggaran transfer ke daerah dan dana desa meningkat sebesar Rp782,201 triliun atau 37% dari total RAPBN 2016.
Alokasi anggaran itu lebih besar daripada belanja kementerian/lembaga sebesar Rp780,377 triliun.
Prioritas
Sejalan dengan Permendes Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa, Marwan Jafar menyampaikan tiga hal penting yang harus digalakkan dalam waktu dekat ini.
Pertama ialah pembangunan infrastruktur dasar yang harus segera dipenuhi.
Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian hanya dapat ditemui di wilayah dengan infrastruktur yang memadai.
Sebaliknya, wilayah tertinggal yang jauh dari aktivitas perekonomian dipastikan tidak memiliki infrastruktur yang baik.
Untuk memajukan kembali aktivitas di desa, mobilisasi penduduk harus dihidupkan terlebih dahulu.
Itu dapat dilakukan dengan pembangunan jalan, irigasi, dan jembatan.
Dengan adanya infrastruktur dan transportasi, intensitas pertumbuhan ekonomi segera meningkat, jarak menjadi dekat, dan keterisolasian lokasi terbuka.
Kedua ialah pembangunan sarana dan prasarana, terutama pendidikan dasar (TK/PAUD) dan kesehatan (poskesdes). Unicef menyatakan pendidikan prasekolah berguna untuk membantu mengembangkan kompetensi psikososial dan kognitif anak.
Dalam kesehatan, poskesdes berfungsi untuk memberikan pelayanan ringan terhadap penduduk desa serta memberikan penyuluhan masyarakat ihwal pola dan kesadaran hidup sehat.
Ketiga ialah penggunaan dana desa untuk membangun basis ekonomi kreatif.
Salah satunya ialah pendirian badan usaha milik desa (BUMDes) atau usaha bersama komunitas (UBK).
Dalam badan usaha desa itu, tidak ada kepemilikan individual.
Tiga macam prioritas penggunaan dana desa itu bisa dibilang program jangka pendek dan menjadi alas terintegrasi bagi gerakan ekonomi rakyat.
Namun, selama ini konsekuensi yang dihadapi masyarakat desa akibat tidak memenuhi ketiga kriteria itu bisa dijadikan pelajaran.
Krisis di perdesaan selama ini berhubungan dengan pelambatan ekonomi yang terjadi di desa lantaran rendahnya daya beli masyarakat.
Dengan prioritas penggunaan dana desa, ditambah produksi padat karya, swadaya, dan tidak mengambil pekerja dari luar daerah, secara ekonomi seharusnya desa mampu berdikari.
Apalagi, dengan makin terserapnya dana desa untuk belanja fisik, kegiatan ekonomi di desa lambat laun akan berputar.
Dengan iklim kondusif itu, lapangan pekerjaan akan tercipta dengan sendirinya.
Selanjutnya, si pekerja itu mendapatkan upah dan mendorong konsumsi rumah tangga.
Oleh sebab itu, ada dampak ganda dari dana desa.
Aktivitas ekonomi di tingkat lokal menimbulkan dampak multiplier effects.
Ekologi desa membangun
Gerakan masif ekonomi rakyat, terutama dalam pembangunan infrastruktur, juga harus memerhatikan segi ekologi.
Jangan sampai peristiwa ketimpangan pembangunan demikian terjadi seperti pada akhir 1970-an di Tiongkok.
Saat itu 'Negeri Tirai Bambu' melakukan reformasi ekonomi perdesaan.
Residu sampingan akibat reformasi ekonomi perdesaan di Tiongkok menuai beberapa masalah krusial.
Salah satunya konversi lahan pertanian yang berlebihan untuk membangun perkotaan.
Peter Timmer, dalam sebuah artikelnya, menentang strategi industrialisasi yang mengorbankan lahan pertanian, sekalipun hal itu bertujuan menghapus kemiskinan.
Karena itu, Timmer menyarankan suatu strategi pembangunan terpadu.
Strategi itu berlandaskan pada peningkatan produktivitas di wilayah perdesaan.
Jadi, perdesaan yang menghasilkan bahan pangan tidak diubah menjadi desa industri, tapi potensi wilayahnya ditingkatkan.
Intervensi negara atas pembangunan desa seharusnya tidak mengikis potensi yang menjadi ikon di desa itu.
Karena itu, pengubahan paradigma lama 'membangun desa' menjadi 'desa membangun' merupakan tolok ukur keberadaan desa dalam negara.
Paradigma baru itu memberikan kewenangan desa untuk mengurus rumah tangga sendiri.
Dengan berpedoman pada UU Desa, negara tak lagi bisa seenaknya mengatur urusan desa, termasuk proyek-proyek pemerintah yang tidak selalu berfaedah bagi penduduk desa. Hak atas asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa menerangkan agar desa diakui jejak sejarahnya dan segala keputusan pemerintahan ditetapkan masyarakat desa sendiri.
Pendek kata, desa harus hidup bersama lokalitas dan kearifan lokalnya. Supradesa tak boleh mengubah sistem yang telah berlangsung secara holistis dan turun-temurun itu.
Dana desa bukan untuk membuat masyarakat desa sekadar pasif sebagai penerima saja, melainkan harus sanggup mengelola dan menjadikannya sumber kekuatan bagi gerakan ekonomi rakyat untuk menghadirkan kemandirian, kemajuan, dan kesejahteraan bagi masyarakat desa.
0 Response to "Dana Desa dan Gerakan Ekonomi Rakyat"
Post a Comment